Jumat, 11 Mei 2012

Melihat sebagian kecil kehidupan di pinggir kota Jakarta


4 Mei 2012
Alarm ku berbunyi di pagi ini pada pukul 06.00 lalu aku pun langsung bangkit bangun dan berdoa terlebih dahulu untuk berterimakasih dan meminta kelancaran kegiatan pada hari ini. Hari ini, memang sudah aku rencanakan semenjak seminggu yang lalu untuk melakukan tugas observasi yang diberikan oleh KOMJAK. Berencana akan pergi bersama dengan kak Fani, salah satu teman kelompok observasi ku tetapi ternyata kak  Fani berhalangan di hari ini. Yup, dan jadilah hari ini aku pergi sendiri tanpa mengetahui arah yang jelas.
Jam 07.00 aku sudah berada di halte busway Yos Sudarso, daerah Sunter mengenakan kaos tipis, celana pendek dan sandal jepit sambil menunggu busway datang dan segera menuju ke halte Busway Grogol setelah sempat transit di halte busway Cempaka Mas. Pagi ini sesak sekali betapa banyak penumpang dan berdesak desakan. Orang orang pun sepertinya memerhatikan ku dengan aneh karena aku berpakaian sangat ala kadarnya dimana semua orang berpakaian batik dengan rapih. Selama 2 jam berdiri di busway, akhirnya aku sampai juga di halte busway Grogol. Aku langsung bergegas menuju terminal yang berada di dekat halte busway dan mencari tahu angkot yang mengarah ke Muara Angke. Setelah bertanya ke pedagang sekitar terminal aku pun menaiki angkot 01 yg mengarah ke Muara Angke. Setelah 1 jam perjalanan, tiba tiba bau asin menyergap di hidung ku dan tak berapa lama kemudian aku pun sampai di terminal Muara Angke.
Turun dari angkot lalu saya melihat tukang ojek di dekat terminal, bertanya apakah mereka tahu dan kenal pengupas kerang di sekitar Muara Angke. Pak Aman pun menawari ku jasa ojek sepeda nya karena tempat nya dikatakan jauh dan ada tanjakan yang tidak sanggup dilalui oleh motor dan odong odong. Aku pun tidak dapat melakukan tawar menawar ketika diberitahu jasa ojek sepeda nya sebesar Rp 8000 karena jarak tempuh yang jauh dan sudah biasa katanya. Aku pun terpaksa menurut dan naiklah aku ke sepeda yang sudah tua itu tapi masih sangat kuat untuk membonceng ku di belakangnya. Selama perjalanan dengan menaiki sepeda saya melihat pemandangan sekitar. Terlihat jauh di sana bangunan megah berdiri dengan kokoh dan megah tetapi di tempat aku sekarang berjalan sangatlah berantakan, panas, kotor dan tidak tertatata rapih. Ternyata seperti ini ya wajah pinggiran kota Jakarta? Sungguh berbeda 180 derajat dari bangunan megah yang aku liat jauh di sana. Tiba tiba bau asin pun semakin menyengat, tetapi bau asin yang segar bukan bau asin yang amis. Ternyata ratusan ikan sedang dijemur. Entah kenapa, hati ku senang melihat nya. Mungkin karena hal kecil tapi nyata yang tidak pernah terlihat di kota sana.
Setelah sekitar 10 menit menaiki sepeda aku pun sampai di tempat pengupas kerang yang ditunjuk oleh Pak Aman. Pak Aman tidak langsung meninggalkan ku di pinggir jalan tetapi ikut menemaniku berjalan memasuki daerah pengupas kerang. Ketika aku memasuki jalanan kecil aku melihat serpihan serpihan kecil yang berkilauan pelangi karena terkena sinar matahari. Semakin masuk ke dalam akhirnya aku sampai di tempat pengupas kerang. Banyak sampah kerang bertaburan diman mana dan didiamkan begitu saja. Sepertinya mereka memang tidak membuangnya ke tempat sampah dan hanya membiarkannya dan diinjak begitu saja jika dilewati. Ketika mencari orang di sekitar yang ada hanyalah sepi. Ternyata memang belum ada kapal yang datang karena memang sedang sulit mencari kerang dan tidak dapat terlalu banyak.
            Tiba tiba Pak Aman mengajak ku ke tempat pengupas kerang yang lain nya yang tidak jauh dari tempat pengupas kerang yang pertama. Ketika aku sampai memang baru ada kapal yang merapat dan segera memindahkan kerang ke dalam 2 drum yang besar. Bapak bapak nelayan itu pun menyambut ku dengan hangat dan mengijinkanku untuk melihat lihat mereka serta membantu mereka. Lalu kerang kerang itu pun dibawa ke sebuah tungku dan segera api nya dinyalakan untuk memanaskan kerang kerang nya. Tetapi dibagian atas kerang ditutupi dengan kain karung. Pak Aman pun menjelaskan bahwa mereka sedang merebus kerang supaya kerang nya dapat dikupas dengan mudah nantinya.
            Masih pukul 10.15 tiba tiba Pak Aman pun mengajak aku berkali kali untuk beristirahat saja di gubuk nya karena kegiatan mengupas kerang masih sangat lama dimulai. Berkali kali diajak dan berkali kali juga aku menolak dengan halus. Aku memilih untuk duduk duduk saja terlebih dahulu di pinggir dermaga sembari menghirup bau asin laut dan bau amis sampah kerang yang begitu menyengat menghampiri hidungku. Aku pun melihat laut yang begitu hitam kotor seperti tak ada harapan untuk kembali membuat nya jernih. Aku hanya bisa memandangnya dengan melamun serta berpikir.
Tiba tiba aku dikagetkan kembali oleh Pak Aman dan megajakku ke tempat tungku agar aku melihat proses perebusan kerang itu. Ternyata lama kelamaan karung yang menyelimuti kerang kerang itu naik meluap menandakan kerang kerang sudah mulai matang dan ter rebus didalamnya. Tak berapa  lama kemudian pun kerang itu digotong ke tempat pengupasan yang sudah digelar kain karung seadanya dan 2 drum kerang yang telah direbus itu pun ditumpahkan dari drum ke kain karung tersebut. Uap pun mengepul menandakan betapa panasnya kerang kerang itu direbus.
Aku pun diajak duduk oleh seorang wanita muda untuk duduk dan aku pun duduk di dekatnya. Aku pun berkenalan dengan wanita muda itu yang ternyata bernama Kartini dan ternyata Kartini masih berumur 19 tahun, umur yang sama denganku. Hal yang membuat ku lebih terkaget kaget lagi adalah ternyata mbak Kartini sudah menikah dengan salah satu nelayan pengupas kerang tadi yang bernama mas Rahmat. Mbak Kartini memang disuruh cepat menikah oleh orang tuanya dan mbak Kartini pun menurut saja apa yang diminta oleh ibunya untuk segera menikah dengan mas Rahmat karena mereka pun sudah berpacaran lama. Untung nya mereka belum memiliki anak karena mbak Kartini memilih untuk ber-KB terlebih dahulu. Mungkin maksudnya agar ada tabungan untuk anak nya di masa yag akan datang.
Aku pun membantu mengupas kerang walaupun bau amis menusuk hidung ku. Ternyata asik juga mengupasi nya. Kulit kerang nya begitu besar dan tebal tetapi daging kerang nya sangat kecil sekali. Aku pun dipersilahkan untuk mencicipi kerang nya karena sudah matang dan ternyata rasanya enak sekali walaupun belum diberi bumbu apapun. Usut mengusut aku pun bertanya perlahan mengenai penghasilan dari hasil mengambil dan mengupas kerang ini dan mbak Kartini cukup bercerita dengan lancar. 1 ember kerang utuh itu harganya Rp 25.000 Tadi ad 2 drum dan aku menghitung 2 drum itu berisi 6 ember kerang. 1kg kerang yang sudah dikupasi harganya hanya Rp 15.000 Karena kerang nya kecil kecil seperti itu pasti jumlah berat yang didapat pun sangat sedikit. Mbak Kartini menjelaskan,biasanya mereka bisa mendapatkan 4 drum kerang setiap harinya. Tetapi karena beberapa hari terakhir ini perusahaan industry di sekitar Muara angke sedang banyak membuang limbah ke lau jadinya kerang yang hidup dan bisa diambil pun sangat sedikit. Sungguh menyedihkan perbuatan manusia. Hidup orang kecil yang hanya bergantung dari alam pun semakin susah saja.
Pengeluaran kebutuhan rumah tangga mbak Kartini dan suami nya selama 1 hari dapat mencapai Rp 50.000 Mereka sangat pas pasan untuk hidup dengan peghasilan kerang yang seadanya itu. Belum lagi dengan biaya bensin dann perawatan kapal. Tetapi beberapa kali mbak Kartini bekerja di restoran sekitar Muara Angke dan hanya digaji Rp 30.000 setiap 1 shift. Jadi dapat aku simpulkan pendapatan dan pengeluaran mereka sangatlah pas pasan untuk hidup yang serba cukup.
Ketika mbak Kartini bercerita hal lainnya dengan aku, aku pun memutuskan untuk cepat pulang demi keamanan diri ku sendiri karena ternyata Pak Aman tadi bukan orang baik dan memiliki maksud yang tidak baik dan berbohong jika hanya sepeda yang merupakan angkutan umum melewati daerah itu. Aku pun langsung dicarikan odong odong oleh mbak Kartini sebelum Pak Aman akan menemui aku kembali karena Pak Aman berencana akan menjemput aku untuk diantar ke terminal. Odong odong pun  segera menuju terminal dan aku langsung mencari angkutan untuk kembali pulang ke Sunter. Tak lupa saya berpamitan dan mengucapkan banyak berterimakasih kepada mbak Kartini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar